“Sebentar tak bukain pintunya
sebentar.”
Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat
takjub begitu mengenali siapa yang mengetuk pintu rumahnya. Pastinya dia sama
sekali tidak menyangka akan kedatangan aku yang begitu tiba-tiba.
Ketika kemudian dengan keramahan yang begitu hangat dia
mempersilakan aku untuk masuk, tanpa ragu-ragu aku lebih memilih duduk di kursi
rotan yang terpampang di seberang ruangan. Nikmat dan penuh dengan kerinduan
duduk di atas kursi rotan yang usianya mungkin sudah terbilang tua ini, namun
masih kokoh menopang berat badanku yang semakin melebar ini. Dia pun turut
duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, di mana berderet
rapi pohon-pohon ketapang kencana di sana. Aku pun langsung paham, kedatangaku
yang begitu tiba-tiba ini membuat hatinya diliputi dengan keharuan yang tidak
bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dia butuh untuk menenangkan dirinya sejenak.
Dia adalah Bakir, sahabat masa kecil terbaik aku. Hampir 20 tahun
aku tak bertatap muka lagi dengannya dikarenakan adanya urusan kerja ayahku,
sehingga dia memboyong kami sekeluarga untuk pindah ke luar pulau. Maksud
kedatanganku salah satunya adalah ingin meminta maaf karena tak pernah
sekalipun datang untuk sekedar bersilaturahmi.
“Jadi
apa yang membawamu kemari?”
“Aku
rindu kursi rotan ini.”
“Palsu! Kau dulu
pun tak suka duduk di kursi rotan ini, jika begitu rindunya mungkin sudah kau
bawa diam-diam kursi rotan ini ketika kau pindahan kemarin.”
Aku tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum
obrolan meluncur begitu deras melalui lidah dan mulut kami. Lisan kami begitu
lincah, menandakan begitu banyak hal yang ingin disampaikan.
***
Bertemu dengannya begitu banyak ingatan yang keluar secara membabi
buta tanpa bisa dibendung lagi. Salah satu ingatan yang menjadikan dia selalu
lekat di ingatanku ialah ketika bel pulang berbunyi tanda sekolah telah usai.
Tentu dia mengingatnya pula, karena sebagai seorang sahabat, dia jauh lebih
tulus dan setia daripada aku.
Cerita itu bermula ketika aku, dia, dan dua teman lainnya hendak
pergi ke sungai kecil di luar desa yang konon katanya angker. Awalnya Bakir
menyuruhku pulang karena ia hendak mengikuti dua teman lainnya pergi. Merasa
terasingi aku menyatakan ingin ikut, tapi dia tetap keberatan. Dia tahu dengan
pasti ayah dan ibuku pun melarang aku untuk pergi. Sering memang aku mendengar
desas-desus bahwa ada sebuah sungai yang konon katanya berisi penghuni mistis.
Sungai itu sangat jarang didatangi, akan tetapi dari yang kudengar juga katanya
pemandangan di sana indah nan elok. Dan bagian akhirnya itu terdengar sangat
mengasyikkan. Sayang orang tuaku tak pernah mengizinkanku untuk pergi jauh-jauh
dari rumah. Tapi siang itu aku nekat dan memohon-mohon agar Bakir mengizinkan
aku untuk ikut. Dan akhirnya dia tak kuasa menolak permintaanku.
“Tak pulang dulu kau ke rumah
izin sama ibu bapak kau?” aku pun bertanya karena heran dibuatnya. Dia langsung
memimpin untuk berangkat, perjalanan ini pun tak dekat, bagaimana bila orang
tua Bakir khawatir. Iya aku tahu ibu bapaknya juga sibuk bekerja dan tak banyak
peduli ke mana anaknya pergi. Tapi tak izin rasanya nanti timbul rasa cemas di
batin mereka.
“Tak apa, kau tenang saja. Kita pergi
tak lama, sebelum petang kita sudah pulang. Kuharap kau menjadi pengingat aku
untuk pulang sebelum petang,” jawabnya dengan santai.
Sambil menggerutu aku pun mengiyakan kehendak temanku itu. Karena
aku tahu dialah satu-satunya temanku yang sangat mencintai keluarganya melebihi
apapun. Darinya aku banyak belajar tentang arti mencintai keluarga yang
sesungguhnya. Satu demi satu pelajaran aku ambil dari sikapnya karena memang
begitulah hendaknya.
Kami lalu berjalan sepanjang galengan besar di areal persawahan
beberapa puluh meter setelah melewati kebun dan kolam gurami di belakangnya. Di
kejauhan, mulai terlihat aliran kecil dari sungai tersebut. Rasa hati jadi
tenang. Musim hujan, aliran sungai kecil ini sedikit deras, bebatuan kecil
terasah licin karenanya, areal ini sedikit berbahaya bila tak hati-hati
melangkah. Aku merasa tidak akan berani berada di sini sendirian.
Kami turun menyusuri setapak demi setapak, hingga akhirnya berdiri
di dekat bibir sungai. Hanya dalam beberapa menit, teman lainnya
berteriak-teriak gembira, memang udara sejuk di sini bukan main adanya. Aku pun
berteriak-teriak antusias, tidak pernah aku merasa bahagia seperti ini. Mungkin
keangkeran di sini hanyalah cerita omong kosong belaka. Bakir pun tenang-tenang
saja, bersiap terjun ke dalam pesta anak-anak sekolahan. Kami semua pun melepas
alas kaki karena ingin merasakan airnya yang segar.
Rasanya belum terlalu lama berada di sana dan aku pun baru
berlari-lari sedikit di pinggir sungai, tiba-tiba angin berubah perangai.
Kakiku yang kecil terserempet batuan kecil yang licin, lalu tubuhku kehilangan
keseimbangan. Byur! Aku tercebur ke dalam sungai. Dan tragisnya aku tak bisa
berenang.
“Tolong!
Tolong!” teriakku dengan susah payah.
Bakir pun panik, dia menyuruh kedua temannya untuk membantunya
mengangkatku ke atas. Namun apa yang mau dibilang, mereka malah lari dan
meninggalkan Bakir dan aku di sini. Mereka takut katanya itu perbuatan penghuni
di sini yang marah dan mereka tak mau ikut terseret ke dalamnya. Bakir pun
semakin panik. Tanpa pikir panjang dia melepas baju sekolahnya, lalu melompat
ke dalam sungai. Walaupun Bakir memiliki badan yang lebih kecil dariku, tapi
dia memiliki fisik terkuat dari teman-teman lain di sekolah, dia pun pandai
berenang tidak sepertiku.
Hingga saat itu kali pertama aku menamai dia pahlawanku. Tanpa
bantuan dia yang sigap mungkin aku sudah terbawa arus sungai dan lenyap entah
ke mana. Persahabatan dia bukanlah isapan jempol belaka, tidak seperti
teman-teman lain yang hanya mendekatiku karena ada maunya saja. Tidak dengan
Bakir, dia tulus menjadi teman baikku tanpa berniat meninggalkanku.
***
Ketika kejadian di
sungai kecil itu terkadang aku merasa bersalah karena tidak menuruti perkataan
Bakir. Seusai ia menolongku, aku pun menggigil sangat hebat. Lalu dengan suara
bergetar, dia mencoba membuat sebuah teriakan untuk meminta pertolongan.
Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian mengakui
bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar aku membutuhkan pertolongan
secepatnya, dia menggendong aku di atas punggungnya, lalu berlari sembari
membujuk-bujuk aku untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa
tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang,
sesampai di rumahnya bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan
Ibunya. Pipinya sempat pula kena tampar Ayahnya yang murka. Sementara itu, aku
langsung dilarikan ke puskemas di desa.
“Iya kau tahu betapa sakitnya tamparan bapak
saat itu? Pedas sekali di pipi aku.”
“Salahmu sendiri tak minta izin dulu.
Makanya kau kena tampar.”
Kemudian kami pun
tertawa menceritakan kejadian yang sudah lampau itu.
“Sebenarnya itu salahku.
Mengajakmu adalah sebuah kesalahan, mungkin tamparan itu seberanya pengingat
buatku untuk lebih waspada.”
Kami tertawa lagi. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh
rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu
bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus
semua kengeriannya.
Kini ibunya telah meninggal, bertambah lagi masalah berat yang
kini menjeratnya. Dia bercerita tentang perilaku ayahnya yang masih sering
berjudi dan mabuk-mabukan. Hingga pada akhirnya hutang di mana-mana, beban
berat bertambah di pundaknya.
“Ayahku dulu memang orang yang memiliki sifat yang buruk. Hanya saja semakin
tua malah semakin menjadi-jadi saja tingkahnya. Padahal Ibu dari dulu
menasehatinya, sampai kini ibu telah tiada masih saja dia tak berubah.”
“Hutang itu ulah bapakmu?”
“Kau
tahu kami ini bukan keluarga yang memiliki harta berlimpah. Untuk makan pun aku
harus banting tulang keliling desa. Akan tetapi ayahku hanya
menghambur-hamburkan uang saja, tak peduli ibu dan anaknya mau makan apa.
Sampai suatu ketika uang tak lagi ia punya, mulailah dia meminjam uang di
sana-sini. Dan kini aku harus menanggung beban berat sebagai kepala keluarga.”
“Namun, dia tetaplah ayahku. Orang tua yang melahirkan aku
ke dunia, aku membencinya. Tapi di lubuk hatiku dia tetaplah ayah yang aku
sayang. Aku akan berusaha melewati kesulitan ini dan menyadarkan ayahku.
Mungkin kelak dia akan sadar betapa aku menyayanginya,” tambahnya.
“Kami akan bertahan,” katanya tersenyum
saat melepas kepergian aku setelah hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalam
suaranya.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran aku tak pernah lepas dari
sahabatku yang baik budiman itu. Sebagai sahabat aku merasa belum pernah
berbuat baik kepadanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang
dilakukannya untuk menolong aku di siang itu. Dia telah membuktikan bahwa
keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul dari sebuah
persahabatan yang tulus.
Dari segala hal yang dia lakukan, dialah pahlawan nyata bagiku
yang secara gamblang mengajarkan banyak pelajaran tentang kehidupan. Hingga
detik ini aku masih tetap mengaguminya, hingga mungkin kelak ajal menjemput aku
dan dia.
Mataku melirik ke arah surat perintah dari kepolisian yang sedari
tadi terduduk manis di kursi mobil sebelahku. Sebagai polisi yang baru saja
ditugaskan untuk menangkap seorang pengguna narkoba di desa ini nilainya jauh
lebih kecil dibandingkan persahabatan antara aku dan Bakir. Tapi Bakir tidak
tahu, dengan surat perintah ini, akulah yang ditugaskan untuk menangkap
ayahnya. Karena beliau sudah tertangkap basah menggunakan obat-obatan terlarang
dan juga narkoba.
-Selesai-
Menurut kamu siapa pahlawan yang paling berjasa dalam hidup kamu?
BalasHapusMenurut saya jelas sekali itu adalah orang tua. Mungkin jawabannya terdengar klasik, cuma kita memang bukan apa-apa tanpa jasa orang tua di dalam hidup kita :)
HapusYa Allah kok saya sedih jadi inget sahabat pas masa kecil ..
BalasHapusSemua orang selalu punya sahabat terbaik di masa kecil, tapi kadang kita melupakan mereka seiring berjalannya waktu. Jadi, bersyukurlah yang punya sahabat baik sekarang ya
HapusIni mirip sama cerita aku dulu, sama-sama ditinggalin sahabat karena dia mau pindah :(
BalasHapusDuh sedih banget pasti ya gan, semoga nanti ketemu lagi ya sama sahabatnya
Hapus